Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang telah menyempurnakan agama Islam untuk hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan Sunnah Rasul-Nya sebagai sebaik-baik petunjuk yang diikuti. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, dan para Shahabatnya.
Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan
agama Islam bagi umatnya; menyempurnakan nikmat-Nya bagi mereka. Allah
Subhanahu wa Ta'ala tidak mewafatkan Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa
sallam kecuali setelah beliau selesai menyampaikan segala sesuatu yang
disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dengan jelas, baik berupa perkataan
maupun perbuatan; juga setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjelaskan bahwa setiap hal baru yang diada-adakan oleh manusia dan
disandarkan kepada agama Islam, baik berupa i’tiqâd (keyakinan),
perkataan maupun perbuatan semua itu adalah bid’ah dan tertolak,
walaupun maksudnya baik. Semua ini karena bid’ah merupakan penambahan
terhadap ajaran agama dan mensyari’atkan sesuatu yang tidak diizinkan
Allah Subhanahu wa Ta'ala serta merupakan tasyabbuh (penyerupaan) dengan
musuh-musuh Allah Azza wa Jalla dari golongan Yahudi dan Nasrani.
Selain itu, melakukan bid’ah berarti pelecehan terhadap agama Islam dan
menganggapnya tidak sempurna. Keyakinan ini mengandung kerusakan yang
besar dan bertentangan dengan firman Allah Azza wa jalla dan sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang memperingatkan terhadap
bid’ah.
Mengada-ada hal baru dalam agama,
seperti peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti
beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala belum menyempurnakan
agama-Nya bagi umat ini, atau beranggapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam belum menyampaikan segala sesuatu yang mesti dikerjakan
umatnya. Tidak diragukan lagi, anggapan seperti ini mengandung bahaya
besar lantaran menentang Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Karena Allah
Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Nabi paling mulia dan
terakhir. Nabi yang paling sempurna penyampaian dan ketulusannya.
Seandainya Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu
benar-benar termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla,
niscaya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkannya
kepada umatnya; Atau paling tidak, pasti telah dikerjakan oleh para
Shahabatnya. Tetapi, semua itu tidak terjadi. Dengan demikian, jelaslah
hal itu bukan bagian dari ajaran Islam dan termasuk perkara yang
diada-adakan (bid’ah) dan termasuk tasyabbuh (menyerupai) Ahli Kitab
(Yahudi dan Nasrani) dalam hari-hari besar mereka
Diantara hal aneh dan mengherankan ialah
banyak orang yang giat dan bersemangat menghadiri acara-acara yang
bid’ah, bahkan membelanya, sementara mereka meninggalkan
kewajiban-kewajiban yang Allah Azza wa Jalla syari’atkan seperti shalat
wajib, shalat Jum’at, dan shalat berjama’ah bahkan sebagian mereka
terbiasa dengan perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar. Mereka sadar
bahwa mereka telah melakukan kemungkaran yang besar. Ini semua
dikarenakan oleh lemahnya iman, dangkalnya pemikiran, serta banyaknya
noda yang mengotori hati.
Lebih aneh lagi, sebagian pendukung
maulid mengklaim bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang
menghadiri acara tersebut. Karena itu, mereka berdiri untuk menghormati
dan menyambutnya. Ini merupakan kebatilan yang paling besar dan
kebodohan yang amat buruk. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak akan bangkit dari kuburnya sebelum hari Kiamat, tidak
berkomunikasi dengan seorang manusia pun, dan tidak menghadiri
pertemuan-pertemuan umatnya sama sekali.
Mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bukanlah dengan menyelenggarakan acara-acara perayaan maulid
semacam itu, akan tetapi dengan mentaati perintahnya, membenarkan semua
yang dikabarkannya, menjauhi segala yang dilarang dan diperingatkannya,
dan tidak beribadah kepada Allah Azza wa Jalla kecuali dengan yang
beliau syari’atkan.
A. ORANG YANG PERTAMA KALI MENGADAKAN MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah yang mungkar. Kelompok yang pertama kali mengadakannya adalah Bani ‘Ubaid al-Qaddah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah pada abad ke- 4 Hijriyah. Mereka menisbatkan diri kepada putra ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan. Nenek moyang mereka adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah seorang pendiri aliran Bathiniyah di Irak.[1]
Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah yang mungkar. Kelompok yang pertama kali mengadakannya adalah Bani ‘Ubaid al-Qaddah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah pada abad ke- 4 Hijriyah. Mereka menisbatkan diri kepada putra ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan. Nenek moyang mereka adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah seorang pendiri aliran Bathiniyah di Irak.[1]
Para ulama ummat, para pemimpin, dan
para pembesarnya bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang munafik
zindiq, yang menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran. Bila ada
orang yang bersaksi bahwa mereka orang-orang beriman, berarti dia
bersaksi atas sesuatu yang tidak diketahuinya, karena tidak ada sesuatu
pun yang menunjukkan keimanan mereka, sebaliknya banyak hal yang
menunjukkan atas kemunafikan dan kezindikan mereka.[2]
B. BEBERAPA ALASAN DILARANGNYA MEMPERINGATI MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Para ulama dahulu dan sekarang telah menjelaskan kebathilan bid’ah memperingati Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan membantah para pendukungnya. Memperingati Maulid (kelahiran) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah bid’ah dan haram berdasarkan alasan-alasan berikut:
Para ulama dahulu dan sekarang telah menjelaskan kebathilan bid’ah memperingati Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan membantah para pendukungnya. Memperingati Maulid (kelahiran) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah bid’ah dan haram berdasarkan alasan-alasan berikut:
Pertama: Peringatan Maulid Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah yang dibuat-buat dalam agama
ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menurunkan keterangan sedikit pun
dan ilmu tentang itu. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah
mensyariatkannya baik melalui lisan, perbuatan maupun ketetapan beliau.
Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” [al-Hasyr/59:7]
Juga berfirman :
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو
اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada diri
Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah Azza wa Jalla dan (kedatangan) hari Kiamat dan
dia banyak mengingat Allah Azza wa Jalla.” [al-Ahzâb/33: 21]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa yang mengadakan suatu yang baru yang tidak ada dalam urusan agama kami, maka amalan itu tertolak".
Dalam riwayat Imam Muslim, “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak".
Kedua: Khulafa-ur Rasyidîn dan para
Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya tidak pernah
mengadakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
tidak pernah mengajak untuk melakukannya. Padahal mereka adalah
sebaik-baik umat ini setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
...فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَـفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ،
تَـمَسَّكُوْا بِـهَـا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ،
وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
”…Maka wajib atas kalian berpegang teguh
kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâ-ur Râsyidîn yang mendapat petunjuk.
Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah
perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara
yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.”
[3]
Peringatan maulid tidak pernah dilakukan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.
Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah lebih dahulu
melakukannya. al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ahlus Sunnah
wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak
ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah
bid’ah. Karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu
melakukannya daripada kita. Sebab mereka tidak pernah mengabaikan satu
kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya.”[4]
Ketiga: Peringatan hari kelahiran (ulang
tahun/maulid) adalah kebiasaan orang-orang sesat dan orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran. Karena yang pertama kali menciptakan
kebiasaan tersebut adalah para penguasa generasi Fathimiyah Ubaidiyah,
sebagaimana keterangan diatas. Mereka sebenarnya berasal dari kalangan
Yahudi, bahkan ada pendapat mereka berasal dari kalangan Majusi. Bisa
jadi, mereka adalah orang-orang Atheis.[5]
Orang yang pertama menciptakannya adalah
al-Mu’iz Lidînillah al-‘Ubaidi al-Maghribi yang keluar dari Maroko
menuju Mesir pada bulan Ramadhan tahun 362 H.[6]
Apakah layak bagi orang Muslim berakal
untuk mengikuti Rafidhah dan mengikuti kebiasaan mereka serta
menyelisihi petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ?
Keempat.: Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan
agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku
ridhai Islam sebagai agamamu…” [al-Mâ-idah/5:3]
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah
(wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini merupakan nikmat AllahSubhanahu wa
Ta'alal terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah Azza wa
Jalla menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan
agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Azza wa
Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada
seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang
beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya, dan
tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua yang dikabarkannya
adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada
pertentangan sama sekali. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
وَتَـمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلاًً “
Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (Al-Qur-an), (sebagai kalimat) yang benar dan adil ...” [al-An’âm/6:115]
Maksudnya, benar dalam kabar yang
disampaikan dan adil dalam seluruh perintah dan larangan. Setelah agama
disempurnakan bagi mereka, maka sempurnalah nikmat yang diberikan kepada
mereka.
Maka ridhailah Islam untuk diri kalian,
karena ia agama yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Karenanya Allah Azza wa Jalla mengutus Rasul Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang paling utama dan menurunkan Kitab yang paling mulia
(Al-Qur`an).
Mengenai firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala (al-Mâ-idah/5:3), ‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbâs
Radhiyallahu 'anhuma, “Maksudnya adalah Islam. Allah Azza wa Jalla telah
mengabarkan kepada Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum
Mukminin bahwa Dia telah menyempurnakan keimanan untuk mereka, sehingga
mereka tidak membutuhkan penambahan sama sekali. Dan Allah Azza wa Jalla
telah menyempurnakan Islam sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan
pernah menguranginya, bahkan telah meridhainya sehingga Allah Azza wa
Jalla tidak akan memurkainya selamanya.”[7]
Orang yang melaksanakan Sunnah-Sunnah
dan meninggalkan bid’ah-bid’ah -termasuk bid’ah Maulid Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam- maka mereka menjadi asing di masyarakat, pendukung
perayaan ini. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menjelaskan dengan sangat jelas. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak membiarkan satu jalan pun yang dapat menghantarkan ke Surga dan
menjauhkan dari Neraka melainkan telah beliau jelaskan kepada umatnya.
Kalau peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu termasuk
ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, tentu beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam telah menjelaskannya atau melakukannya. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
مَا
بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ
أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا
يَعْلَمُهُ لَـهُمْ
"Tidaklah Allah Azza wa Jalla mengutus
seorang Nabi, kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang
diketahuinya kepada ummatnya dan memperingatkan mereka terhadap
keburukan yang diketahuinya kepada mereka." [8]
Kelima: Dengan mengadakan bid’ah-bid’ah
semacam itu, timbul kesan bahwa Allah Azza wa Jalla belum menyempurnakan
agama ini, sehingga perlu dibuat ibadah lain untuk menyempurnakannya.
Juga menimbulkan kesan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam belum
tuntas menyampaikan agama ini kepada umatnya sehingga kalangan ahli
bid’ah merasa perlu menciptakan hal baru dalam agama ini. Padahal Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi
hamba-hamba-Nya.
Keenam: Dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah, semua bid’ah adalah sesat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
"Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka" [9]
Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata.
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
"Barangsiapa menganggap baik sesuatu (ibadah) maka ia telah membuat satu syari’at" [10]
Diantara kaidah ahli ilmu yang telah
ma’ruf ialah bahwa “Perbuatan baik ialah yang dipandang baik oleh
syari’at dan perbuatan buruk ialah apa yang dipandang buruk oleh
syari’at.”[11]
Syaikh Hâfizh bin Ahmad bin ‘Ali
al-Hakami rahimahullah (wafat th. 1377 H) berkata, “Kemudian ketahuilah
bahwa semua bid’ah itu tertolak tidak ada sedikitpun yang diterima;
Semuanya jelek tidak ada kebaikan padanya; semuanya sesat tidak ada
petunjuk sedikitpun di dalamnya; Semuanya adalah dosa tidak berpahala;
Semuanya batil tidak ada kebenaran di dalamnya. Dan makna bid’ah ialah
syari’at yang tidak diizinkan Allah Azza wa Jalla dan tidak termasuk
urusan (agama) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para
Shahabatnya.”[12]
Para ulama Islam dan para peneliti kaum
Muslimin secara terus-menerus mengingkari budaya perayaan maulid
tersebut dan mengingkarinya demi mengamalkan nash-nash dari Kitabullah
dan Sunnah Rasul yang memang memperingatkan bahaya bid’ah dalam Islam,
memerintahkan agar mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
serta memperingatkan juga agar tidak menyelisihi beliau dalam ucapan,
perbuatan, dan amalan.
Ketujuh: Memperingati kelahiran Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membuktikan kecintaan terhadap
Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena kecintaan itu hanya dapat
dibuktikan dengan mengikuti beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam,
mengamalkan Sunnah beliau, dan mentaati beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu
mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku, niscaya Allah Azza wa
Jalla mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa jalla
Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Ali Imrân/3:31]
al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah
berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas setiap orang
yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapi tidak berada di
atas jalan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia dusta
dalam pengakuannya mencintai Allah Azza wa Jalla sampai ia mengikuti
syari’at dan agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam setiap perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Disebutkan
dalam kitab ash-Shahîh, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak.”[13]
Oleh karena itu, maksud firman Allah
Azza wa Jalla yang maknya : “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai
Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku. Niscaya Allah Azza wa Jalla
mengasihimu” adalah kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi
kecintaan kalian kepada-Nya, yaitu kecintaan-Nya kepada kalian. Ini
lebih besar daripada kecintaan kalian kepada-Nya. Seperti yang dikatakan
ulama ahli hikmah, “Yang jadi ukuran bukanlah jika engkau mencintai,
tetapi yang jadi ukuran adalah jika engkau dicintai.” al-Hasan al-Bashri
rahimahullah berkata, “Ada suatu kaum yang mengaku mencintai Allah Azza
wa Jalla, lalu Allah Azza wa Jalla menguji mereka melalui ayat ini ...”
Kemudian firman Allah Azza wa Jalla yang
maknanya, “Dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa Jalla Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” Maksudnya adalah dengan mengikuti Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, kalian akan memperoleh pengampunan,
berkat keberkahan utusan-Nya.”
Kedelapan: Memperingati Maulid Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai perayaan berarti
menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani dalam hari raya mereka,
padahal kita telah dilarang untuk menyerupai mereka dan mengikuti gaya
hidup mereka. [15]
Kesembilan: Orang yang berakal tidak
mudah terperdaya dengan banyaknya orang yang memperingati maulid Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena tolok ukur kebenaran itu bukan
jumlah orang yang mengamalkannya, namun berdasarkan al-Qur’an dan
as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Salafush Shâlih.
Kesepuluh: Berdasarkan kaidah syariat
yaitu mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitabullah dan
Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
" … Kemudian, jika kamu berbeda pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah k dan hari Kemudian"
[an-Nisâ'/ 4:59]
Demikian juga dengan firman-Nya:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
"Tentang sesuatu apa pun yang kamu berselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah Azza wa Jalla.” [asy-Syûra/42: 10]
Orang yang mengembalikan persoalan
maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini kepada Allah Azza wa Jalla
dan Rasul-Nya, dia akan mendapati bahwa Allah Azza wa Jalla
memerintahkan manusia agar mengikuti Nabi-Nya. Dan Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan ataupun memperingati
kelahiran beliau dan beliau sendiri, juga para sahabat beliau. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bukanlah berasal dari Islam, tetapi merupakan
perbuatan bid’ah.
Kesebelas: Yang disyariatkan bagi
seorang Muslim pada hari Senin adalah berpuasa, bila ia mau. Karena Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa pada hari
Senin, beliau bersabda, “Itu adalah hari kelahirkanku, hari aku diutus
sebagai nabi, serta hari aku diberikan wahyu.” [16]
Yang disyariatkan adalah meneladani
beliau, yaitu berpuasa pada hari Senin, bukan merayakan hari kelahiran
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kedua belas: Perayaan hari kelahiran
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan perbuatan ghuluw
(berlebih-lebihan/melampaui batas) terhadap beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam, padahal Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang berbuat ghuluw.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.
"Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw
(berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw dalam
agama ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” [17]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak suka disanjung melebihi dari ssanjungan yang Allah berikan dan
ridhai. Tetapi banyak orang melanggar larangan Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam tersebut, sampai-sampai ada yang berdo’a dan meminta
pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya
sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Sebagian dari
perbuatan-perbuatan ini dilakukan ketika peringatan maulid Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu
'anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk
menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kami berkata kepada
beliau, “Engkau adalah sayyid (tuan/penguasa) kami!” Spontan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.
“Sayyid (tuan/penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”
Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah
orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan :
قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.
"Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa
(wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan
janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan" [18]
.
Kebanyakan qashidah dan puji-pujian yang dinyanyikan oleh yang melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu tidak lepas sikap berlebih-lebihan dan kultus individu terhadap Rasulullah bahkan terkadang mengandung ucapan-ucapan syirik. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
.
Kebanyakan qashidah dan puji-pujian yang dinyanyikan oleh yang melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu tidak lepas sikap berlebih-lebihan dan kultus individu terhadap Rasulullah bahkan terkadang mengandung ucapan-ucapan syirik. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا
تُطْرُوْنِـيْ كَمَـا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَـا
أَنَا عَبْدُهُ ، فَقُوْلُوْا : عَبْدُ اللهِ وَ رَسُوْلُهُ.
"Janganlah kalian mengkultuskan diriku
sebagaimana orang-orang Nashrani mengkultuskan Isa bin Maryam.
Sesungguhnya aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah,
‘Hamba Allah dan Rasul-Nya" [19]
.
Maksudnya, janganlah kalian memujiku dengan cara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissalam. Sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku. Katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”[20]
.
Maksudnya, janganlah kalian memujiku dengan cara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissalam. Sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku. Katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”[20]
Ketiga belas: Berbagai perbuatan syirik,
bid’ah, dan haram yang terjadi dalam peringatan maulid Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam
Dalam perayaan maulid Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam sering terjadi hal-hal yang diharamkan, seperti
kesyirikan, bid’ah, bercampur baurnya kaum laki-laki dan wanita,
menggunakan nyanyian dan alat musik, rokok, dan lainnya. Bahkan sering
terjadi perbuatan syirik Akbar (besar), seperti istigâtsah kepada
Rasulullah n atau para wali, penghinaan terhadap Kitabullah, di
antaranya dengan merokok pada saat majelis Al-Qur’an, sehingga
terjadilah kemubadziran dan membuang-buang harta. Sering juga diadakan
dzikir-dzikir yang menyimpang di masjid-masjid pada acara Maulid Nabi
tersebut dengan suara keras diiringi tepuk tangan yang tak kalah
kerasnya dari pemimpin dzikirnya. Semuanya itu adalah perbuatan yang
tidak disyariatkan berdasarkan kesepakatan para ulama yang berpegang
teguh kepada kebenaran.[21]
Keempat belas: Dalam peringatan maulid
terdapat keyakinan batil bahwa ruh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam menghadiri acara-cara maulid yang mereka adakan.
Dengan alasan itu mereka berdiri dengan
mengucapkan selamat dan menyambut kedatangan beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Itu jelas perbuatan paling bathil dan paling buruk sekali.
Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan keluar dari
kubur beliau sebelum hari kiamat dan tidak akan berhubungan dengan
seseorang (dalam keadaan sadar), tidak pula hadir dalam
pertemuan-pertemuan mereka. Beliau akan tetap berada dalam kubur beliau
hingga hari Kiamat. Ruh beliau berada di ‘Illiyyin yang tertinggi di
sisi Rabb beliau dalam Dârul Karâmah.[22]
Allah Azza wa Jalla berfirman, yang
artinya, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati
(pula).” (Qs az-Zumar/39:30). Dan dalam ayat yang lain, Allah k
berfirman yang maknanya, “Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu
sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian
akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.” [al-Mukminûn/23:
15-16].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ
"Aku adalah penghulu manusia di hari
Kiamat nanti dan orang yang pertama kali keluar dari alam kubur, serta
orang yang pertama kali memberi syafa’at dan yang menyampaikan
syafa’at"[23]
Ayat dan hadits di atas serta berbagai
ayat dan hadits senada lainnya menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dan orang-orang yang sudah mati lainnya akan keluar
dari kubur mereka pada hari Kiamat nanti. al-Allâmah Abdul Aziz bin
Abdullâh bin Bâz rahimahullah menyatakan, “Ini adalah pendapat yang
sudah disepakati oleh para ulama kaum Muslimin, tidak ada perbedaan
pendapat di kalangan mereka.” [24]
Sebagai tambahan, ketika Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak mau dihormati dengan berdiri. Lalu bagaimana bisa mereka
menghormati beliau n dengan cara berdiri setelah beliau wafat.
C. HAKIKAT MENCINTAI RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Orang yang benar-benar mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:
Orang yang benar-benar mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:
1. Mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, mentauhidkan Allah Azza wa Jalla, menjauhi syirik, mengerjakan
Sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, beradab dengan adabnya.
2. Lebih mendahulukan perintah dan syari’at Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam daripada hawa nafsu dan keinginan dirinya.
3. Banyak bershalawat untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sesuai dengan Sunnahnya. Allah Azza wa Jalla berfirman.
إِنَّ
اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan
para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi k dan
ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya" [al-Ahzâb/33:56]
4. Mencintai orang yang dicintai Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik keluarga maupun Shahabatnya yang
Muhajirin dan Anshar serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan membenci orang yang membencinya.
5. Mencintai al-Qur’ân yang diturunkan
kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, mencintai Sunnahnya, dan
mengetahui batas-batasnya.[25]
D. FATWA PARA ULAMA TENTANG BID’AHNYA PERAYAAN MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Berikut ini adalah beberapa fatwa para ulama yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah dhalâlah.
Berikut ini adalah beberapa fatwa para ulama yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah dhalâlah.
1. Al-‘Allâmah asy-Syaikh Tâjuddin al-Fakihani rahimahullah (wafat th. 734 H) berkata :
“Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari al-Qur-an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu...”[26]
“Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari al-Qur-an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu...”[26]
2. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan ‘îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.”[27]
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan ‘îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.”[27]
3. al-‘Allâmah Ibnul Hajj rahimahullah
(wafat th. 737) menjelaskan tentang peringatan Maulid Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam :
“...Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.”[28]
“...Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.”[28]
4. Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh berkata:
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka...”[29]
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka...”[29]
5. Syaikh Hamûd bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri rahimahullah berkata:
“...Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya.
“...Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya.
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“...Maka hendaklah orang-orang yang
menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa
adzab yang pedih.” [an-Nûr/24:63]
Jika dalam acara maulid yang diada-adakan ini ada sedikit saja kebaikan maka para Shahabat telah bergegas melakukannya...”[30]
6. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Pertama: bahwa malam kelahiran Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.
“Pertama: bahwa malam kelahiran Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.
Kedua: dari sudut pandang syari’at maka
peringatan ini tidak memiliki dasar. Karena jika ia termasuk syari’at
Allah Subhanahu wa Ta'ala pasti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
melakukannya atau menyampaikannya kepada umatnya. Seandainya beliau
telah melakukannya atau telah menyampaikannya maka hal itu pasti terjaga
karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami pula yang
memeliharanya.” [al-Hijr/15:9]
Karena tidak ada sesuatu pun yang
terjadi dari hal itu maka dapat diketahuilah bahwa Maulid Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak termasuk agama Allah. Jika tidak
termasuk agama Allah maka kita tidak boleh beribadah dan mendekatkan
diri kepada Allah dengannya. Apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
meletakkan jalan tertentu agar dapat sampai kepada-Nya yaitu apa yang
dibawa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka bagaimana bisa kita
selaku hamba Allah diperbolehkan untuk membuat jalan sendiri yang
mengantarkan kepada Allah ? Ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah
Azza wa Jalla, yaitu mensyari’atkan dalam agama Allah sesuatu yang bukan
bagian darinya. Juga hal ini mengandung pendustaan terhadap firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya : “…Pada hari ini telah Aku
sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu…”
[al-Mâidah/5: 3]” [31]
7. Syaikh Shâlih bin Fauzân bin ‘Abdullâh al-Fauzan hafizhahullâh berkata:
“Melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak dari para Khulafâ-ur Râsyidîn, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang maknanya : “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” [al-Hasyr/59:7]
“Melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak dari para Khulafâ-ur Râsyidîn, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang maknanya : “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” [al-Hasyr/59:7]
Maka ketika mereka tidak melakukan peringatan maulid ini, dapat diketahuilah bahwa perbuatan itu adalah bid’ah…
Kesimpulannya bahwa menyelenggarakan
peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk perbuatan
bid’ah yang diharamkan yang tidak memiliki dalil baik dari Kitabullâh
maupun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam…”[32]
Demikian uraian yang dapat kami
sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Semoga shalawat serta salam
tercurah kepada Nabi kita Muhammad n, juga kepada keluarganya, para
Shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga
hari Akhir. Dan akhir seruan kami ialah segala puji bagi Allah, Rabb
seluruh alam.
Marâji’ :
1. Tafsîr Ibni Katsîr, cet. Dâr Thayyibah.
2. Majmû Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
3. Iqtidhâ ash-Shirâtil Mustaqîm.
4. al-Madkhal, Imam Ibnul Hajj.
5. Siyar A’lâmin Nubalâ.
6. al-Bâ’its ‘ala Inkâril Bida’ wal Hawâdits.
7. Ma’ârijul Qabûl, Syaikh Hafizh al-Hakami.
8. al-Bida’ fii Madhâril ‘Ibtida’, Syaikh ‘Ali Mahfuzh.
9. Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bil Maulidin Nabawi.
10. Nûrus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah, Syaikh Sa’id al-Qahthani.
11. Tanbîhu Ulil Abshâr, Syaikh Shâlih as-Suhaimi.
12. ‘Ilmu Ushûl Bida’, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
13. al-Bida’ al-Hauliyyah.
14. Majmû Fatâwâ Syaikh ‘Utsaimin.
15. al-Muntaqa min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân.
16. Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ-imah.
Dan kitab-kitab lainnya.
1. Tafsîr Ibni Katsîr, cet. Dâr Thayyibah.
2. Majmû Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
3. Iqtidhâ ash-Shirâtil Mustaqîm.
4. al-Madkhal, Imam Ibnul Hajj.
5. Siyar A’lâmin Nubalâ.
6. al-Bâ’its ‘ala Inkâril Bida’ wal Hawâdits.
7. Ma’ârijul Qabûl, Syaikh Hafizh al-Hakami.
8. al-Bida’ fii Madhâril ‘Ibtida’, Syaikh ‘Ali Mahfuzh.
9. Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bil Maulidin Nabawi.
10. Nûrus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah, Syaikh Sa’id al-Qahthani.
11. Tanbîhu Ulil Abshâr, Syaikh Shâlih as-Suhaimi.
12. ‘Ilmu Ushûl Bida’, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
13. al-Bida’ al-Hauliyyah.
14. Majmû Fatâwâ Syaikh ‘Utsaimin.
15. al-Muntaqa min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân.
16. Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ-imah.
Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 137).
[2]. Fadhâ-ih al-Bâthiniyyah (hlm. 37) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahj . Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 143).
[3]. Shahîh: HR. Ahmad (IV/126-127), Abû Dâwud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Dârimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205), al-Hâkim (I/95), dishahîhkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Irwâ-ul Ghalîl (no. 2455) dari Shahabat al-‘Irbâdh bin Sariyah Radhiyallahu 'anhu.
[4]. Tafsîr Ibni Katsîr (VII/278-279) cet. Dâr Thayyibah
[5]. Lihat Siyar A’lâmin Nubalâ (XV/213)
[6]. Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah oleh Ibnu Katsîr (XI/272-273, 345, XII/267-268, VI/232, XII/ 63, XI/161, XII/13, XII/266). Lihat juga Siyar A’lâmin Nubalâ oleh adz-Dzahabi (XV/159-215). Dikisahkan bahwa Raja al-Ubaidiyah yang terakhir adalah al-Adidh Lidînillah. Ia dibunuh oleh Shalâhuddin al-Ayyûbi th. 564 H. adz-Dzahabi menyatakan : “Kekuasaan al-Adidh mulai luntur bersamaan dengan masuknya Shalâhuddin al-Ayyûbi sampai akhirnya beliau melepas kekuasaan itu dari al-Adidh. Beliau t bekerja sama dengan Bani Abbâs, menghancurkan Bani Ubaid dan melenyapkan keyakinan Syî’ah Râfidhah. Jumlah mereka adalah empat belas raja yang mengaku sebagai khalîfah, padahal bukan khalifah. al-Adidh secara bahasa artinya adalah sang pemotong. Karena dia yang memotong kekuasaan keluarganya.” (XV/212).
[7]. Tafsîr Ibni Katsîr (III/26-27) dengan diringkas.
[8]. Shahîh: HR. Muslim (no. 1844).
[9]. Shahîh: HR. an-Nasâ-i (III/189).
[10]. al-Bâ’its ‘alâ Inkâril Bida’ wal Hawâdits (hlm. 50).
[11]. Lihat ‘Ilmu Ushûl Bida’ (hal. 119-120).
[12]. Ma’ârijul Qabûl (II/519-520).
[13]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)
[14]. Tafsîr Ibni Katsîr (II/32).
[15]. Lihat Iqtidhâush Shirâtil-Mustaqîm Mukhâlafatu Ash-hâbil Jahîm oleh Ibnu Taimiyyah (II/614-615), juga dalam Zâdul Ma’âd oleh Ibnul Qayyim (I/59).
[16]. Shahîh: HR. Muslim (no. 1162).
[17]. Shahîh: HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasâ-i (V/268), Ibnu Mâjah (no. 3029), Ibnu Khuzaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu 'anhu.
[18]. Shahîh: HR. Abû Dâwud (4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (211/ Shahîhul Adâbil Mufrad no 155), an-Nasâ-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (247, 249).
[19]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri (3445).
[20]. Aqîdatut Tauhîd (hal 151).
[21]. Lihat al-Ibdâ’ fîi Madhâril Ibtidâ’ oleh Syaikh Ali Mahfûzh (251-252).
[22]. Lihat at-Tahdzîr minal Bida’ oleh al-Allâmah Imam Abdul Aziz bin Bâz (13).
[23]. Shahîh: HR. Muslim (2278).
[24]. At-Tahdzîr minal Bida’ (hal. 14)
[25]. Dinukil dari al-Bida’ al-Hauliyah (hal. 192-193) dengan diringkas.
[26]. Al-Maurid fii ‘Amalil Maulid. Dinukil dari Rasâ-il fî Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/7-14) dengan ringkas.
[27]. Majmû’ Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXV/298).
[28]. Al-Madkhal (II/234-235).
[29]. Hukmul Ihtifâl bil Maulid an-Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/57) dengan ringkas.
[30]. Ar-Raddul Qawiy ‘ala ar-Rifâ’i wal Majhûl wa Ibni ‘Alawi wa Bayân Ahkhtâ-ihim fil Maulidin Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/70) dengan ringkas.
[31]. Majmû’ Fatâwâ wa Rasâ-il Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (II/298) dengan diringkas.
[32]. Al-Muntaqâ min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân (II/185-186) dengan diringkas.
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 137).
[2]. Fadhâ-ih al-Bâthiniyyah (hlm. 37) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahj . Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 143).
[3]. Shahîh: HR. Ahmad (IV/126-127), Abû Dâwud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Dârimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205), al-Hâkim (I/95), dishahîhkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Irwâ-ul Ghalîl (no. 2455) dari Shahabat al-‘Irbâdh bin Sariyah Radhiyallahu 'anhu.
[4]. Tafsîr Ibni Katsîr (VII/278-279) cet. Dâr Thayyibah
[5]. Lihat Siyar A’lâmin Nubalâ (XV/213)
[6]. Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah oleh Ibnu Katsîr (XI/272-273, 345, XII/267-268, VI/232, XII/ 63, XI/161, XII/13, XII/266). Lihat juga Siyar A’lâmin Nubalâ oleh adz-Dzahabi (XV/159-215). Dikisahkan bahwa Raja al-Ubaidiyah yang terakhir adalah al-Adidh Lidînillah. Ia dibunuh oleh Shalâhuddin al-Ayyûbi th. 564 H. adz-Dzahabi menyatakan : “Kekuasaan al-Adidh mulai luntur bersamaan dengan masuknya Shalâhuddin al-Ayyûbi sampai akhirnya beliau melepas kekuasaan itu dari al-Adidh. Beliau t bekerja sama dengan Bani Abbâs, menghancurkan Bani Ubaid dan melenyapkan keyakinan Syî’ah Râfidhah. Jumlah mereka adalah empat belas raja yang mengaku sebagai khalîfah, padahal bukan khalifah. al-Adidh secara bahasa artinya adalah sang pemotong. Karena dia yang memotong kekuasaan keluarganya.” (XV/212).
[7]. Tafsîr Ibni Katsîr (III/26-27) dengan diringkas.
[8]. Shahîh: HR. Muslim (no. 1844).
[9]. Shahîh: HR. an-Nasâ-i (III/189).
[10]. al-Bâ’its ‘alâ Inkâril Bida’ wal Hawâdits (hlm. 50).
[11]. Lihat ‘Ilmu Ushûl Bida’ (hal. 119-120).
[12]. Ma’ârijul Qabûl (II/519-520).
[13]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)
[14]. Tafsîr Ibni Katsîr (II/32).
[15]. Lihat Iqtidhâush Shirâtil-Mustaqîm Mukhâlafatu Ash-hâbil Jahîm oleh Ibnu Taimiyyah (II/614-615), juga dalam Zâdul Ma’âd oleh Ibnul Qayyim (I/59).
[16]. Shahîh: HR. Muslim (no. 1162).
[17]. Shahîh: HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasâ-i (V/268), Ibnu Mâjah (no. 3029), Ibnu Khuzaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu 'anhu.
[18]. Shahîh: HR. Abû Dâwud (4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (211/ Shahîhul Adâbil Mufrad no 155), an-Nasâ-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (247, 249).
[19]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri (3445).
[20]. Aqîdatut Tauhîd (hal 151).
[21]. Lihat al-Ibdâ’ fîi Madhâril Ibtidâ’ oleh Syaikh Ali Mahfûzh (251-252).
[22]. Lihat at-Tahdzîr minal Bida’ oleh al-Allâmah Imam Abdul Aziz bin Bâz (13).
[23]. Shahîh: HR. Muslim (2278).
[24]. At-Tahdzîr minal Bida’ (hal. 14)
[25]. Dinukil dari al-Bida’ al-Hauliyah (hal. 192-193) dengan diringkas.
[26]. Al-Maurid fii ‘Amalil Maulid. Dinukil dari Rasâ-il fî Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/7-14) dengan ringkas.
[27]. Majmû’ Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXV/298).
[28]. Al-Madkhal (II/234-235).
[29]. Hukmul Ihtifâl bil Maulid an-Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/57) dengan ringkas.
[30]. Ar-Raddul Qawiy ‘ala ar-Rifâ’i wal Majhûl wa Ibni ‘Alawi wa Bayân Ahkhtâ-ihim fil Maulidin Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/70) dengan ringkas.
[31]. Majmû’ Fatâwâ wa Rasâ-il Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (II/298) dengan diringkas.
[32]. Al-Muntaqâ min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân (II/185-186) dengan diringkas.